Bulan sya'ban / Bulan ruwah




        Bismillahirrohmanirrohim, ini adalah kali pertama saya ikut challenge kamis menulis yang di adakan oleh group Cakrawala Blogger Guru. Ilmu saya sangat belum banyak tapi saya ingin mencobanya, Challenge kamis menulis kali ini adalah membuat satu kata dari huruf B kata yang ada dibenak saya adalah Bulan Sya'ban atau Bulan Ruwah. 

           Bulan Sya'ban atau orang Jawa menyebutnya bulan ruwah, pada bulan ini ada tradisi yang masih dilaksanakan kelesariannya sampai sekarang dan masih dijalankan di daerah pinggiran atau pedesaan.

Membahas dan mengkaji tentang kebudayaan yang ada di Jawa Tengah tidak ada habisnya. Hal ini tidak lepas dari sejarah masa lalu Jawa Tengah. Dahulu Jawa tengah ini berdiri banyak kerajaan, baik kerajaan besar maupun kecil antara lain Kerajaan Mataram Hindu, Kerajaan Mataram Buddha (Syailendra), Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran.Tiap-tiap kerajaan memiliki kebudayaan yang berbeda. Sebagian besar kebudayaan tersebut masih lestari hingga kini.

Sehingga sangat menarik sekali untuk diamati dan dikaji kearifan lokal yang masih lestari, di lingkungan masyarakat yang berbudaya. Saya sendiri bukan asli orang Jawa Tengah, tapi sudah tinggal di Provinsi ini sejak tahun 2001 dimana waktu itu saya dimasukkan di salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Jawa Tengah oleh kedua orang tua saya. Dan saya sangat tertarik sekali mengamati kebiasaan dan kebudayaan orang Jawa Tengah. 

Salah satu kearifan lokal yang masih lestari di lingkungan masyarakat berbudaya Jawa hingga kini adalah ruwahan. Bagi sebagian masyarakat jawa, rangkaian ritual muslim Jawa dalam menyambut Ramadhan dimulai dengan tradisi ruwahan yang biasanya dilakukan pada hari ke sepuluh menjelang puasa, bulan ke delapan dalam kalender Jawa atau biasa disebut bulan Ruwah atau bulan Sya'ban dalam kalender Hijriah. 

Semangat filantropi yang berbalut kearifan lokal ini sempat menghilang saat Ramadan tahun lalu yang diakibatkan pandemi Covid-19 yang menghantam negeri ini. Hal ini disebabkan imbauan pemerintah untuk membatasi interaksi sosial dalam masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19.

 Dalam pandangan sosial, ruwahan memiliki makna komunalisme sosial yang erat hubungannya dengan interaksi sosial antar individu yang berarti ruwahan memiliki arti bertemunya para ibu untuk rewangan pada saat membuat makanan untuk ruwahan. Rewangan, atau saling membantu tetangga saat ruwahan bisa dipastikan rentan menularkan virus berbahaya ini saat Ramadan tahun lalu.

Sebenarnya makna filantropi ruwahan memiliki nilai strategis sebagai arena berbagi pada masa sulit akibat pandemi Covid-19 dengan semangat kultural religius, bahkan bisa dinilai sebagai ketahanan pangan menjelang Ramadan, sesuai arahan Gubernur lawa Tengah mengenai aplikasi program Jaga Tangga di masyarakat

Pada tahun lalu masyarakat Jawa menjalani laku prihatin karena banyak ritual masyarakat yang berbalut keagamaan ditunda penyelenggaraannya. Menurut hemat saya, pada saat pandemi ini masih bisa dilaksanakan karena memiliki banyak nilai strategis positif bagi masyarakat yang tentu saja harus dilakukan dengan aman dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Sayang jika esensi filantropi, kebersamaan, interaksi sosial dengan filosofi pager mangkok menuju tercapainya ketahanan pangan menjelang Ramadan pada tahun kedua pandemi Covid-19 ini tidak diteruskan. Karena selain bernilai sedekah ruwahan ini mengingatkan pada Tuhan, mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan.

Nilai Strategis Ruwahan

Ruwahan berasal dari kata ruwah yang mengandung arti arwah (Geertz, 1995) Bulan ini diyakini bulan yang bagus untuk melaksanakan kegiatan spiritual yang berkaitan dengan leluhur Ritual itu biasanya diawali dengan pembuatan makanan ruwahan membersihkan kuburan, ritual kenduri, dan ziarah kubur kemudian diakhiri dengan ritual padusan atau mandi.

Tradisi ini diyakini merupakan akulturasi antara tradisi Hindu-Buddha dengan Jawa dan Islam. Sebagian masyarakat Jawa meyakini roh leluhur masih dapat memberi manfaat dan mudarat bagi yang masih hidup, kemudian diberi doa-doa secara islami dengan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Biasanya tradisi ini beriringan dengan tradisi slametan dan ziarah kubur

Ruwahan tidak lepas dengan tradisi dalam ruang publik. Individu-indivudi dipertemukan dalam satu kepentingan, yakni tradisi dan agama. Kepentingan bersama yang diwujudkan dengan rewangan, yakni saling membantu memasak antar tetangga, kemudian saling memberi makanan berbahan dasar sama, yaitu makanan berupa kolak, kue apem, dan ketan, berbagai sajian lezat yang dibagikan kepada tetangga ini ternyata memang penuh filosopi.

Kolak dari kata kholaqo merupakan simbol untuk mengingatkan manusia kepada Sang Khaliq, Sang Pencipta alam semesta (Susanti, 2018). Kue apam berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf, yakni saling memberi atau menerima maaf sebelum Ramadan yang suci dating.

Sedangkan ketan yang berasal dari kata kruketan atau ngraketke yang berarti merekatkan ikatan adalah simbol eratnya persaudaraan dengan tetangga atau sesama manusia (Geertz, 1972). Filosofi kolak, apem dan ketan memiliki nilai strategis yang luar biasa yang bisa diambil dalam kehidupan manusia.

Konsep mamayu hayuning bawana mengandung dimensi karkater secara komprehensif dan spiritual pada masyarakat jawa dalam menjaga harmonisasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan antar manusia (Nugraha, 2018). Dari sini terlihat nilai filantropis, saling berbagi, kedermawanan atau sedekah mengemuka dalam kegiatan ruwahan ini.

 Humanisme

Pada dasarnya kearifan lokal yang memiliki makna kultural religius mampu membangun toleransi dan humanisme. Prinsipnya adalah melestarikan tradisi lama yang baik dan meletakkannya pada tatanan modemitas yang lebih baik (Nada, 2019).

 Hal ini termasuk dalam konsep filantropi ruwahan yang masih relevan sebagai sarana berbagi kepada tetangga, masyarakat sekitar, khususnya menjelang bulan suci Ramadan. Implementasi ajaran Islam murni kini semakin berkembang dan nyatanya tak sepenuhnya menghilangkan tradisi Jawa berbalut nuansa islami yang ada lebih dulu.

Era Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini mencegah masyarakat kekurangan pangan dengan menumbuhkan dan mengedepankan solidaritas masyarakat untuk berbagi. bersedekah kepada tetangga kanan-kiri seperti konsep Jaga Tangga yang digaungkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, memang mendesak dilakukan

Masyarakat jangan hanya tergantung kepada pemerintah dalam mengatasi bencana kemanusiaan ini, namun harus mampu mandiri dan bersinergi dalam menghadapi berbagai krisis yang menimpa akibat pandemi. Mulai dari krisis pangan karena banyak pemutusan hubungan kerja, krisis sosial, krisis keamanan dan krisis kesehatan.

Ketika masyarakat tidak kelaparan maka keamanan dan kondisi sosial akan stabil, tidak terjadi kriminal. Salah satu cara dengan saling berbagi, memperhatikan tetangga kanan kiri. Konsep filantropi ruwahan masih relevan untuk menyadarkan masyarakat agar saling membantu pada masa sulit Tentu lebih baik dikembangkan bukan hanya sebentuk pemberian makanan penuh makna simbolis seperti kolak. apam, dan ketan semata.

Menurut hemat saya sedekah menjelang bulan puasa lebih utama dengan sedekah yang baik. Sebagai contoh, selain memberikan makanan ruwahan kepada para tetangga bisa ditambah dengan paket bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang bermanfaat

Dari sini akan terlihat kearifan lokal berpadu dengan perintah agama dalam hal sedekah yang bisa diadopsi dengan maksimal pada momentum yang tepat. yakni berbagi pada bulan Sya’ban yang pada akhirnya akan menimbulkan ketahan pangan menjelang Ramadan.



والله اعلم بالصواب 
بارك الله فيكم 




Komentar

  1. Pada prinsipnya saya masih berharap tradisi baik itu tetap dilestarikan, meskipun ada sebagian yang menganggap bahwa itu bukan ajaran Islam. Budaya sepanjang tidak menyekutukan Tuhan dan membuka jalan pendekatan diri tidak salah untuk dipertahankan.

    BalasHapus
  2. War biasah smg kita sll bs berbagi dg sesama apapun itu bntuknya

    BalasHapus
  3. Di daerah Ambu juga ada tradisi ruwahan. Diperingati dengan kegiatan 'ngatir' seperti yg Ambu ceritakan dalam blog ambu tentang 'ngatir' di bulan mulud. Jadi ad 2x ngatir dlm 1 tahun. Semoga kearifan lokalnitu lestari bila manfaatnya baik bagi kehidupan bermasyarakat dalam beragama..

    BalasHapus
  4. Tradisi Jawa yang penting tidak sampai syirik, maka itu sudah bagus. Toh jika wujudnya adalah saling memberi makanan, itu sangat dibenarkan. Meski yang lebih bagus sih, jangan momen tertentu saja, tetapi bisa di momen lain, kita bersedekah.

    BalasHapus
  5. Ulasan yang sangat runtut. Saya sebagai orang Jawa Tengah asli sudah berpuluh tahun tidak bisa ikut menikmati momen Ruwahan ke makam, karena diperantauan tidak ada tradisi Ruwahan ke makammakam se di Jawa Tengah. Jadi ingat masa kecil dulu senangnya ikut kondangan (Ruwahan) ke makam jika dapat bagian paha ayam...🤭🤭

    BalasHapus
  6. kalau di tempat saya malam sya'banan...

    BalasHapus
  7. Di kampung saya namanya ngatir, masih satu daerah dengan Ambu Guru. Kearifan lokal seperti ini semoga tidak hilang, meski saya melihat anak-anak muda di tempat kami sekarang sepertinya tidak terlalu tertarik dengan acara-acara seperti ini,

    BalasHapus
  8. Tradisi yang karena pandemi tak bisa sepenuhnya dilakukan ya. Sedih di daerah sy tradisi menjelang puasa dengan mengunjungi sanak keluarga juga masih dibatasi kalau keluar daerah sekarang.

    BalasHapus
  9. Duh, Gusti! Jadi kangen suasana kayak gini waktu masih tinggal di Jawa. Jadi kangen mudik juga. Hiks

    BalasHapus
  10. Dilingkungan sekitar rumah masih mengadakan ruwahan.
    Masih tetap dijaga tradisinya.

    Terimakasih artikel yang informatif.

    Tetap konsisten menulis, dan selalu ikut kegiatan Lagerunal yaaa

    Salam kenal, indrakeren

    BalasHapus
  11. Mantap uraiannya meskipun situasinya berbeda tetapi ruh semangatnya selalu ada.

    BalasHapus
  12. Biasanya jika tidak diatur harinya acara ini bersamaan....satu hari Bebe Rapa rumah. Tapi ada inisiatif jadi satu di masjid....meskipun begitu masih ada juga yang ingin sendiri namanya ngugrmi adat. Saya setuju jika untuk berbagi dengan niat baik diteruskan saja....apalagi untuk ketahanan pangan dengan paket sembako misalnya.....

    BalasHapus
  13. Alhamdulillah masih ada yg menjaga adat istiadat , semogs generasi muda mau menjaganya. Semua kearifan lokal intinya baik apalagi tidak bertentangan dengan agama yg kita anut. Terimakasih infonya. Tetap semangat menulis bu.

    BalasHapus
  14. Ruwahan di kampungku juga masih berlaku. Keren artikelnya.

    BalasHapus

Posting Komentar